Kembalikan Bali Pada Jati Dirinya

Ilustrasi
Sumber: www.wisatabaliaga.com

Munculnya UU No. 6 tahun 2014 membawa perbincangan panas di kalangan masyarakat Bali. Bagaimana tidak, entitas yang sudah mendarah daging, Desa Pekraman/Desa Adat akan dipertaruhkan demi kucuran dana APBN dan APBD. Seorang legislator asal Buleleng, bahkan secara tegas dan sumringah memaparkan perjuangannya demi mengembalikan Bali dengan memilih Desa Adat sebagai entitas yang lebih utama dibandingkan Desa Dinas.

Polemik Undang Undang Desa

Bali memiliki sesuatu yang sangat unik, bayangkan saja ada dua desa yang menaungi masyarakat yang ada di didalamnya. Ada Desa Dinas yang mengurus segala sesuatu terkait dengan administrasi, kependudukan, pembangunan fisik, kesejahteraan masyarakat dll. Selain itu ada Desa Adat yang mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan adat, budaya dan keagamaan. Masyarakat Bali tentu tidak bisa lepas dari kedua entitas ini, karena urusan administratif dan urusan adat-istiadat sudah menjadi bagian hidup masyrakat Bali. Munculnya Undang Undang Desa memberikan ruang yang begitu sempit pada masyarakat Bali, karena mereka dipaksa untuk memilih salah satunya sebagai desa yang harus didaftarkan untuk bisa mengakses dana desa.

Pandangan Legislator Bali Terkait Undang Undang Desa

Dalam sebuah media masa lokal, B*ali Post edisi Senin, 12 Januari 2014, K*ster mengambil satu halaman penuh, meskipun bukan di halaman utama, memaparkan alasan dibalik perjuangannya tersebut. Tidak ada yang salah dibalik pemaparannya, bahkan cenderung sebuah konsep visioner untuk menata Bali menjadi sebuah masyarakat yang kuat, tangguh, modern dan mapan secara ekonomi. Pasal per pasal coba dijelaskan dalam sebuah skema naratif dijabarkan dengan begitu lugas dan matang, seolah-olah semua itu sudah dirancang menjadi satu kesatuan artikel yang sangat persuasif. Apa motif di balik paparan yang begitu menggoda "iman" ini gerangan. Bagi saya motif di balik semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah demi kepentingan Bali yang lebih baik.

Tentu sangat tidak etis, ketika saya menjiplak semua tulisan tersebut dan kemudian mengomentari satu persatu paragraf demi paragraf yang menjadi pokok pikiran beliau. Selain itu pandangan yang sama juga muncul dari hampir semua senator Bali yang duduk di Senayan. Pasek S*ardika bahkan mengamini perjuangan K*ster sebagai bentuk penilaian persuasif lainnya. Apa dibalik motif pandangan beliau? Kembali lagi, itu semua adalah demi Bali yang lebih baik nantinya. 

Perbedaan pandangan tentu merupakan sebuah keniscayaan. Bagaimana tidak, semua orang begitu tertarik untuk memberikan pandangannya karena mereka mencintai Bali dan entitas yang ada di dalamnya. Mereka bukan mengharapkan panggung, melainkan sebuah dorongan yang kuat agar Bali ini tetap ajeg dan lestari, bahkan maju dan menjadi lebih baik. Saya sendiri menyukai konsep yang ditawarkan terkait pemilihan Desa Adat sebagai desa yang resmi untuk diajukan ke Pemerintah Pusat. Bagaimana tidak, jumlah Desa Adat yang ada di Bali sebanyak 1.488 sedangkan jumlah Desa Dinas hanya sebanyak 716. Artinya jika setiap desa berhak mendapatkan dana sebesar 1 milyar, maka masyarakat Bali akan mendapatkan dana yang jauh lebih banyak dengan memilih Desa Adat. Namun apakah persoalannya sesederhana itu? 

Kebijakan Desa Adat Harus Holistik

Berbicara tentang Desa Adat, tentu harus dikaji secara lebih mendetail dan mendalam. Secara konstitusional, undang-undang desa ini masih menjadi perdebatan bagi saya. Bagaimana tidak, pasal-demi pasal dalam undang-undang ini masih menunjukan pertentangan. Pasal 26 menjelaskan bahwa Kepala Desa mendapatkan perlindungan hukum atas semua kebijakannya, tetapi pada pasal 30 dijelaskan Kepala Desa yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi dan pemberhentian dari Bupati atau walikota. Hal yang menarik lainnya adalah bahwa menurut pasal 109, pembentukan Desa Adat khususnya kelembagaan, pengisian jabatan dan masa jabatan ditetapkan oleh Perda Provinsi. Yang menarik dari pasal ini adalah pasal ini tidak mencoba menganalisa Desa Adat secara utuh yaitu ada 2 jenis Desa Adat yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda di Bali. Desa Adat Bali Mula misalnya, mereka menerapkan sistem ulu ampad dalam memutuskan pimpinan (Kelian Desa/Kubayan Mucuk), bahkan prajuru desa semacam Jero Penyarikan diangkat sekali dan bertugas semasa hidupnya. Apakah kemudian Undang Undang Desa bisa mengakomodasi ketentuan lembaga Desa Adat ini. Apa yang digambarkan oleh K*ster dalam pemaparannya tentang konsep Desa Adat yang baru merupakan modifikasi yang jenius, tetapi hanya untuk Desa Adat baru yang terbentuk dengan sistem yang demokratis. Bagaimana dengan desa-desa tua yang sudah menerapkan sistem adat yang jauh lebih kuno tetapi tetap lestari sampai sekarang? Ini adalah sebuah bentuk pengkhianatan dan penghancuran nilai-nilai luhur budaya masyarakat Bali Mula.

Persoalan lainnya adalah, ada banyak sekali Desa Adat yang memiliki krama (masyarakat) yang bertempat tinggal lintas administrasi Desa Dinas. Artinya sebuah Desa Adat terdiri dari beberapa Desa Dinas. Bahkan ada Desa Dinas yang terdiri dari dua Desa Adat dan lain sebagainya. Ini akan menjadi sebuah polemik, terkait dengan aset, sistem kependudukan, dan sistem kewilayahan. Sistem kewilayahan Desa Dinas jelas ditentukan dengan batas-batas administratif dan ini berbeda dengan batas-batas Desa Adat. Meskipun secara fungsi ada peleburan antara Desa Dinas dan Desa Adat sehingga akan tetap ada fungsi kedinasan dan fungsi keadatan dalam Desa Adat yang baru nantinya, tetap hal itu tidak bisa menjawab persoalan-persoalan yang sudah saya jabarkan di atas.

Harusnya senator kita bisa berkaca pada sejarah. Soekarno pernah berkata, "Jangan Pernah Melupakan Sejarah", hal itu tepat adanya. Cobalah menlihat jauh ke belakang. Apa dan bagaimana Desa Adat itu terbentuk? Apa peran dan fungsinya? Dengan demikian akan terlihat secara jelas bahwa ada perbedaan yang jelas antara fungsi Desa Adat dan Desa Dinas. Paket Desa Adat yang ditawarkan dalam konsep desa yang baru juga memberi warna yang berbeda. Ini akan menghilangkan budaya dan adat-istiadat yang selama ini sudah dijalankan beratus-ratus tahun lamanya. 

Bukankah masih ada jalan lain yang bisa dilakukan oleh senator kita. Kali ini saya harus setuju dengan Mangku Pastika bahwa, seharusnya senator dan legislator kita memiliki keberanian untuk memperjuangkan kekhususan Bali. Daripada menghilangkan budaya yang sudah mendarah daging dengan sebuah konsep modern yang akan merampas budaya leluhur akan jauh lebih baik kalau bisa memperjuangkan Bali sebagai Daerah Khusus Bali. Kekhususan ini adalah demi adat, budaya dan agama yang memang melekat pada masyarakat Bali. Jangan sampai "Kucuran Dana APBN dan APBD" menghapuskan budaya yang sudah mendarah daging ini, tapi jadikan semangat untuk memperbaiki Bali dengan kekhususan Bali itu sendiri.

Komentar